Sunday, December 9, 2012

resensi novel dari hari ke hari

RESENSI KARYA SASTRA (NOVEL)
DARI HARI KE HARI

 

 DISUSUN OLEH :
JANTRI MUKTI SIMALANGO
XII TKJ 2 

PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK KOMPUTER DAN JARINGAN
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN TELADAN BATAM
TAHUN PELAJARAN
2011/2012 





RESENSI KARYA SASTRA (NOVEL)
1.  Identitas Buku
a.  Judul Novel : DARI HARI KE HARI.
b.  Pengarang : Mahbub Djunaidi.
c.  Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya.
d.  Tahun Terbit : Cetakan Khusus, 2007.
e.  Jumlah halaman : 168 halaman.
2.  Jenis Novel
Cerita di dalam novel yang berjudul “DARI HARI KE HARI” ini
merupakan jenis novel non fiksi, karena dalam ceritanya disajikan sesuai
dengan pengalamannya menjadi saksi terhadap perjalanan bangsa Indonesia
yang bangkit dari keterpurukan setelah merdeka.
3.  Isi Novel :
  Keunggulan Novel :
1)  Mempunyai daya tarik tersendiri, karena novel ini berbeda dari
novel-novel sebelumnya.
2)  Menambah ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan sejarah
tentang bangsa Indonesia di jaman setelah Kemerdekaan.
3)  Mempunyai nilai nasionalis yang tinggi sehingga dapat
mempengaruhi para pembacanya.
  Kelemahan Novel :
1.  Akhir cerita dari novel ini tidak begitu jelas (membingungkan
pembaca).
2.  Alur cerita dan pemilihan kata pada novel ini terkadang sulit untuk
di pahami, sehingga pembaca tidak langsung bisa mengerti apa
yang di maksudkan dari novel ini.
4.  Himbauan kepada para pembaca :
Novel berjudul “DARI HARI KE HARI” ini sangat menarik,dengan
observasi yang teliti,kisahnya berjalan dengan gayayang lancer,liris,dan di
sana-sini penuh humor,sehingga sangat menyenagkan
5.  Sinopsis Novel :
Di mata seorang bocah belasan tahun, makna revolusimungkin belum dapat
di pahami sepenuhnya. Ia juga belum tentu mengerti  benar, mengapa negerinya
selalu di landa peperangan; entah perang melawan orang asing, entah perang
melawan bangsa sendiri. Namun,yang jelas, ia tak mampu berbuat apa-apa dan
hanya menurut, ketika ayahnya,Pak Djunaidi, harus hijrah keluar Jakarta.
“Revolusi sudah pecah, ibu kota pindah ke Yogya. Mengenai makna revolusi,
karena ini batang baru, kalian nanti akan paham belakangan. Jawatanku sendiri
pindah ke Solo, kenapa begini, sudah bukan urusan kita”. Begitulah pak Djunaidi
berpesan kepada seluru anggota keluarganya. Kemudian esoknya mereka pindah;
meninggalkan Jakarta denagn kereta api yang membawake Solo.
Dalam perjalanan,hiruk-pikuk para penumpang,mereka  sempat berkenalan
sengan seorang lelaki gemuk yang pekerjaanya menjual ban mobil pada
pemerintah republic yang baru berusia setahun itu.  Ternyata, kemudian diketahui
bahwa lelaki gemuk itu adalah seorang raden mas. “Siapa nama mahluk ini?
Kubaca: Raden Mas X. Astaga, betapa revolusi sudah  mengubah status orang
bangsawan menjadi pedagang ban mobil, berdesakan diatas kereta api, tersuruk-suruk ke kolong kursi, tertawa begitu kerasnya, beramah-tamah dengan hamper
setiap orang.” (Halm. 18)
Di Solo, keluarga Muhammad Djunaidi tinggal di daerah Kauman, walaupun
tempat kerjanya di Mahkamah Islam Tinggi, kantor induknya berada di
Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia waktu itu. Anaknya yang berumur 13-an
tahun itu mulai masuk sekolah kembali. Mula-mula masuk sekolah partikelir
“Muhammadiyah”. Belum sebulan, ia pindah lagi ke sekolah negeri yang
gedungnya sendiri tidak lebih bagus dari rumah penduduk. “Aku pindah ke
Sekolah Dasar Negeri No.27, letaknya di wilayah kampungku juga . ino baru
namanya sekolah , karena menyenangkan . memang sukar membedakannya dengan
rumah=rumah penduduk di sebelahnya, kalau tidak membaca papan namanya, lagi
pula di gang sempit,dan halamannya pun sempit, tak  bias menampung dua puluh
liam anak berimpit-impitan diatasnya.” (Halm. 31)
Selain bersekolah disana, ia juga sekolah agama,disamping harus menjalankan
kewajiban-kewajiban agama, sebagaimana yang dianjurkan ayahnya. Tentu saja,
kegiatan bermainya tak ketinggalan, seperti umumnyaanak-anak seusianya.
Pecahnya Agresi Belanda yang disusul denagn di sepakatinya Perjanjian
Renvile. Ternyata sama sekali tidak membawa perbaikan pada nasib rakyat.
Kekacauan dan terjadinya peperangan akibat pelanggaran genjatan senjata, masih
kerap membuat keadaan makin tidak menentu. Maka , hilir-mudiknya tentara yang
memanggul senjata,tentara yang hijrah,penduduk yangmengungsi atau balik dari
pengungsian, ibarat sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Begitu pula ketika
tentara Devisi Siliwangi meninggalkan Jawa Barat dan dating ke daerah sekitar
Yogyakarta, rakyat hanya menyambutnya dengan sorak-sorai dan lambaian tangan.
Pada saat demikian itulah, keluarga Muhammad Djunaidi kedatangan sersan
Husni, tentara dari Divisi Siliwangi, yang terpaksaikut pasukanya meninggalkan
Bandung. Sersan Husni pula yang merawat kakek si bocah didalam pengungsian.
Dari sersan itu pula diketahui keganasan Westerlingserta tentara indo-belanda-turki yang kejam dan tak mengenal belas kasihan. Mereka melakukan pembunuhan
missal di Sulawesi dan Jawa Barat.
Bagi si bocah kecil itu, peristiwa itu di dengarnyasama sekali tidak
mengurangi kegiatan sekolahnya, mengaji atau bermain-main dengan teman
sebayanya. Sampai Agustus 1948, untuk peretama kalinya diselenggarakan Pekan
Olah Raga Nasional dengan pusat kegiatan di Stadion.
Namun, pada berikutnya , di Madiun terjadi pemberontakan PKI muso . Front
Demokrasi Rakyat melakukan penindasan,intimidasi,ancaman. “hanya ada dua
pilihan, ikut Muso denagn PKI-nya yang akan membawabangkrut cita-cita
Indonesia merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta dengan bantuan Tuhan akan
membawa Negara Republik Indonesia Merdeka tidak di  jajah oleh Negara
manapun.” (Halm 84).
Begitulah, dalam kebingungan, rakyat dibuat cemas dan takut karena PKI
tidak hanya melakukan ancaman dan teror, tetapi juga penculikan dan
pembunuhan.
“Ponorogo diserbu batalion Sobirin Mochtar, Sabarudin menuju Dungus kea
rah Madiun, Gubenur Militer, Kolonnel Gatot Subroto, memerintahkan pasukan
Siliwangi menghantam dari arah Barat,battalion Koshasi menuju pati, battalion
Daeng bergerak ke Cepu dan Blora, batalion Nasuhi dan ahmad Wiranatakusuma
mendekati Ponorogo dari Selatan, battalion Darsono dan Lucas langsung bergerak
menuju jantungnya , Madiun” (Halm 85)
Pemberontakan PKI akhirnya berhasil di tumpas. Amirsyariffudin tertangkap
di pati, kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk diadili. pemberontakan itu akhirnya
membuat rakyat sengsara.
Tiga tahun lamanya keluarga Djunaidi ikut menjadi saksi sejarah, betapa masa
awal kemerdekaan negeri ini dilanda berbagai tantangan dan cobaan berat. “Saya
lihat sendiri pembunuhan dimana-mana…..” (Halm 99).Demikian keterangan
sersan Husni yang ikut menumpas kekejaman para pemberontak PKI.
Desember 1948, Belanda menjarah Yogyakarta. Bung Hatta dan Bung Karno
tertangkap. Semua sekolah tutup “sekolahku sendiri  bukan sekedar
tutup,melainkan runtuh berkeping-keping akibat bumihangus.” (halm 111).
Demikian pengakuan anak pak DJunaidi yang tak tahu,akankah dia bias masuk
sekolah kembali. Pak Djunaidi juga tak tahu harus berbuat apa karena kantor
induknya di Yogyakarta sekarang sudah di kuasai Belanda .
Pada saat seperti itu, tiba-tiba dating surat dari  paman pak Djunaidi,asisten
Wedana, yang tinggal di Jakarta . asisten Wedana yang pro Belanda itu menyuruh
pak Djunaidi ke Jakarta karena jawata sosial akan mengurus segala sesuatunya.
Sementar itu, di forum Internasional, penangkapan Sukarno-Hatta telah
mendatangkan reaksi hebat di berbagai Negara. Belanda dikecam habis-habisan.
Hampir semua Negara mendesak agar kedaulatan Republik Indonesia di pulihkan.
Keluarga pak Djunaidi yang mendengar perkembangan terakhir mengenai
keadaan negerinya,merasa sangat gembira, terlebih lagi dia sudah merencanakan
untuk pulang kembali ke Jakarta.
6  Unsur-unsur intrinsik (dari dalam karya sastra)
•  Tema novel :
Menceritakan kehidupan menjadi pengungsi yang mengungsi dari
daerah satu ke daerah lain akibat terjadinya bentrok yang terjadi
zaman setelah Kemerdekaan republic Indonesia. Seperti kutipan dari
novel tersebut : “ kereta api si Jerman tua Bangka itu menjadi anggun
dan muda. Sekarang dia memekik terlempar jauh ke deretan gerbong.
Batu bara dan jerami menampar dari hampir semua jurusan. Ayahku
menjenguk keluar jendela. “Nah, sekarang kita semuamenjadi
pengungsi. Pengungsi sama sekali berbeda dengan pelarian, karena
kita bukan pencuri atau garong. Camkan baik-baik,ini istilah politik.
Tidak ada yang hina di dalam politik,”kata ayah. Aku,ibu dan adik-adikku, ternganga-nganga saja.”
•  Setting (latar) Novel :
o  Kereta api (ku loloskan ke luar jendela. Terimakasih kepada
kereta api yang tak kuasa lari keras dan tak berkaca)
o  Rumah jawa tulen ( seperti hal nya rumah Jawa tulenyang pola
arsitekturnya tunduk pada petuah-petuah menurun yang sukar
diusut kapan asal mulanya,inilah rumah yang kudiami)
o  Sekolah dasar partikulir “Muhammadiyah” (besoknya aku
sudah duduk di bangku paling belakang, di sekolah dasar
partikulir “muhammadiyah”,persis dua puluh lima hari aku
keluar dari sana karena ada beberapa sebab yang ku rasa masuk
akal.
o  SD no.27 (aku pindah ke sekolah dasar negeri 27,letaknya di
wilayah kampungku juga. Ini baru namanya sekolah,karena
menyenagkan.)
o  Kampung Kauman ( Kampung Kauman berkembang sebagai
mana mestinya;bangsawan lama-kelamaan tak ubahnya seperti
penduduk kebanyakan, orang kaya menjadi lebih miskin,dan
orang miskin menjadi papa sengsara)
•  Alur Novel :
Alur dalam novel ini termasuk dalam jenis alur maju, karena beberapa
kutipan cerita yang terdapat di dalam novel ini menceritakan
kehidupan awal samapai akhir .
•  Perwatakan (Penokohan) Novel :
1.  Pak Muhammad Junaidi; Pegawai Mahkama Islam Tinggi
Berwatak : ramah, tegas, sabar , taat pada agama dan bijaksana
Seperti kutipan :“ Nah, sekarang kita semua menjadipengungsi.
Pengungsi sama sekali berbeda dengan pelarian, karena kita
bukan pencuri atau garong.” (halm 7)
“kamu semua harus bersujud syukur karena ibumu hidup.
Ambillah air sembahyang “ (halm 106)
2. Bocah Kecil; anak Pa. Moh. Junaidi
Sebagai tokoh utama yang berwatak : baik,sabar, penurut,
selalu ingin tahu dan dewasa karena keadaan
Seperti kutipan : “ ayahku nampaknya tabah bagaikanseorang
pendakigunung. Bagaimanapun keluarga bias makan, keadaan
baru terasa berat, tatkala Ibuku mulai jatuh sakit.aku sudah
mengerti. Tak usah ayah berkata bahwa ibu sudah tiada, aku
sudah mengerti, hanya aku tidak mengerti,kenapa begitu
uda,baru 34 tahun umurnya?” (halmn 160)
3  Raden Mas X; Seorang bangsawan keraton Yogyakarta yang
menjadi pedagang ban mobil
Berwatak : sabar, suka menolong dan juga cerdas mengambil
kesempatan
Dalam kutipan : “sigemuk merupakan burung parkit, selain
apling gemuk, juga paling riuh. Dia meneriakan selamat pagi
kepada penumpang sekelilingnya,begitu kerasnya sehingga ada
yang terkejut” (halmn 17)
“Nah, bukan saja Tuan senana, saya juga senang. Biarpun
pandangan politik saya tidak pantas di banggakan, tapi saya
suka membikin orang lain gembira,disamping saya suka
dagang” (halm 147)
4. Moh. Aliwi; bapak Moh. DJunaidi
Berwatak : sombong, tidak suka pikir panjang dalam
mengambil keputusan, menganggap dirinya paling benar dan
hanya mengambil keuntungan semata
Dalam kutipan : “ mau mengajar stir mobil? Setan kubur
mana yang membikin kamu pikun?kau pegawai tinggi,kau
berpendidikan,buka sekolah stir mobil tak masuk akalku sama
sekali,bahkan siapa saja” (halm 154)
5. Sersan Husni; Seorang pejuang RI
Berwatak : sabar, mempunyai semangat dan sikap
nasionalisme yang tinggi
Dalam kutipan : “Belanda boleh putar-putar di kota seperti
ayam di dalam kandangnya,tapi kami menguasai pedalaman.
Coba bapak pikir, itu semua mesti kami tinggalkan .Tapi
kami tentara, mau bilang apa. Kalau nanti diperintahkan balik
lagi, saya pasti akan lari duluan,ha ha ha ha” (halm 71)
•  Sudut pandang (Point of View) novel :
Sudut pandang (Point of View) merupakan keadaan, posisi dan
kedudukan pengarang novel tersebut dalam alur atau jalan cerita yang
dia ceritakan.
Sudut pandang dalam cerita “DARI HARI KE HARI” ini banyak
menepatkan pengarang pada posisi sebagai pelaku (sudut pandang
orang pertama) karena menggunakan subjek “AKU” dalam ceritanya
•  Mood (daya ajuk ) novel :
Mood dalam sebuh cerita merupakan penciptaan suasana yang
timbul di dalam hati para pembaca tersebut, sehingga dapat
menimbulkan rasa penasaran atau keingin tahuan ruceritanya.
Cerita dalam novel yang berjudul “DARI HARI KE HARI” ini
mempunyai kemampuan untuk menimbulkan berbagai rasaminat atau
daya ajuk (mood) di dalam hati setiap pebacanya, diantaranya :
keinginan untuk mencapai rasa kepuasan membaca akhir dari
rangkaian peristiwa yang dialami oleh anak pak Djunaedi mulai dari
mengungsi dari satu daerah ke daerah lain dan harusberpindah-pindah
sekolah dan harus memilih untuk bersekolah di sekolah belanda
dengan seluruh seluk beluk belanda atau di sekolah pribumi yang reot
gedungnya.
7  Unsur-unsur ekstrinsik (dari luar karya sastra tersebut) :
a.  Biografi pengarang novel :
Dunia pers Indonesia tak akan bisa melupakan nama Mahbub
Djunaidi yang pernah tiga kali memimpin organisasi  kewartawanan,
PWI, Mahbub juga dikenal sebagai pemikir NU Ia lahir di Jakarta, 27
juli 1933, anak pasangan dari H. Djunaidi dan Ibu Muchsinati.
Ayahnya sebagai Kepala Biro Peradilan Agama pada Kementerian
Agama yang setiap awal ramadhan dan malam idul fitri
mengumumkan hasil rukyah melalui radio. Mahbub Djunaidi,
sebagaimana anak-anak Indonesia pada umumnya di zaman revolusi
kemerdekaan, usia sekolahnya panjang. Dia baru duduk dikelas satu
SMP menginjak usia 16 tahun, saat seharusnya menyelesaikan
sekolah pertama. Usia 16 tahun itu bersamaan denganwaktu
pemulihan kedaulatan RI dari Belanda tahun 1949. Menginjak usia
remaja, Mahbub Djunaidi bergabung ke dalam Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU), organisasi kader partai NU (saat itu), selagi
masih duduk di SMA. Dia hadir di kongres pertama IPNU di Malang
1955 yang dibuka oleh Presiden RI Sukarno, di saat  negeri ini
beberapa bulan lagi akan menyelenggarakan pemungutan suara
pemilu pertama. Gerakan Mahasiswa Mahbub mulai menulis waktu
SMP dan waktu di SMA tulisan-tulisannya sudah dimuat di majalah-majalah bergengsi waktu itu, seperti Siasat (sajak), Mimbar Indonesia
(esai), Kisah, Roman, Star Weekly, Tjinta (cerita pendek). Ia terjun ke
dunia jurnalistik pada tahun 1958 mengisi harian duta masyarakat
yang kemudian ia menjadi Pemimpin Redaksinya pada tahun 1960-1970. Di tengah memimpin Duta Masyarakat sebagai corong partai
warga nahdlyyin-saat itu-, ia juga berhasil mendeklarasikan organisasi
mahasiswa NU yang berafiliasi ke partai NU (waktu itu) yang
bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)pada tahun
1960. Ia sendiri sebagai ketua umum pertama selama  dua periode.
Sekarang organisasi ini menjadi besar dan tumpuan mahasiswa yang
berbasis nahdliyyin. Pendek kata, dimana ada cabangNU, disitu ada
PMIInya, karena pernah menjadi anak kandung saat NUjadi partai
politik. Sebagai sebuah organisasi kader partai yang tergolong besar,
tidak bisa lain dia juga harus seorang pendidik. Pada tahun 1961,
melalui kongres pertama PMII dilahirkan pokok-pokokpikiran yang
diwadahi dalam apa yang disebut “deklarasi tawangmangu”. Deklarasi
tersebut isinya meliputi pandangan tentang dan sikap terhadap
sosialisme Indoensia, pendidikan nasional, kebudayaan nasional dan
lain-lain. Deklarasi tawangmangu merupakan refleksiPMII terhadap
isu nasional pada saat itu. Mahbub berusaha dengan  sungguh penuh
agresif menjadikan PMII sebagai wadah pembentukan kader,
sebagaimana diamanatkan kepadanya oleh musyawarah mahasiswa
NU seluruh Indonesia. salah satu cara membentuk jiwa dan menempa
semangat kader adalah melalui lagu-lagu mars PMII,  lagu yang di
nyanyikan setiap saat akan acara penting PMII sampai sekarang masih
tetap dipertahankan. Sehingga tidaklah berlebihan kantor PB PMII,
Bangunan seluas 400 meter persegi yang beralamat diJl Salemba
Tengah 57A Jakarta Pusat bernama “Graha Mahbub Djunaidi”.
Pemberian nama Graha Mahbub Djunaidi tersebut merupakan
penghormatan kepada Ketua Umum PMII pertama yang menjabat
selama dua periode pada tahun 1960-1963 dan 1963-1966, kata Malik
Haramain, Ketua Umum PB PMII tahun 2003-2005 saat peresmian
kantor tersebut. Setelah aktif sebagai Ketua Umum PMII, Mahbub
kemudian diminta pula membantu pengembangan GerakanPemuda
Ansor (GP Ansor). Ia sempat duduk sebagai salah satu ketua
pimpinan pusat organisasi kader NU untuk kalangan pemuda tersebut.
untuk organisasi inipun, Mahbub menulis lirik lagu  marsnya yang
tetap di gunakan sampai sekarang. Setelah dirasa cukup membantu
pada organisasi kader muda NU, akhirnya ia di tarikke rahim NU-nya
yaitu sebagai Wakil Sekjend PBNU (1970-1979) dan Wakil Ketua
PBNU mulai tahun 1984-1989. Setelah terjadi pasifikasi politik NU
pada muktamar di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984 dengan jargon
kembali ke khittah 1926, Mahbub pun mempunyai penafsiran sendiri
tentang hal itu. Ia memperkenalkan menggagas istilah “khittah plus”.
Menurutnya, kembali ke khittah 1926 bukanlah merupakan
perwujudan dari sebuah perjuangan. Pendek kata, Mahbub
menginginkan NU kembali berpolitik praktis sebagai  wadah
aspirasinya, mengingat NU –waktu itu- selalu dipinggirkan. Pena
Sebagi Teman Karib Dan Politikus Selama sepuluh tahun memimpin
media harian Duta Masyarakat sebagai corong partai  NU -saat itu-,
tulisan-tulisan Mahbub yang menggelitik mulai di kenal oleh
wartawan-wartawan senior dan media-media baik cetakmaupun
eletronek. Lambat laun tapi pasti, ia terpilih sebagai Ketua PWI
periode 1965, 1968, dan 1970 ini dikenal sebagai sosok yang prigel,
luwes, dan profilik dalam menuangkan gagasan-gagasannya lewat
tulisan. Mahbub Djunaidi dikenal sebagai penulis dengan gaya bahasa
yang lugas, sederhana, dan humoris. Bagi dunia pers, nama Mahbub
Djunaidi bukanlah nama yang asing lagi. Sebagai seorang wartawan,
Mahbub adalah wartawan pemikir yang cerdas dan “kental”, namun
juga jenaka dan penuh kejutan-kejutan dalam setiap tulisannya. Dalam
istilah sekarang, ia adalah seorang yang humanis dan moderat.
Menurut Jakob Oetama, Pendiri dan Pemimpin Umum harian
KOMPAS yang kenal secara pribadi, mengamati Mahbub  mencapai
formatnya yang optimal sebagai wartawan, justru ketika ia bebas dari
beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat dan sebagai
aktivis partai atau keorganisasian lainnya. Mahbub  menulis untuk
rubrik Asal-Usul tiap hari minggu di harian Kompas  selama 9 tahun
tanpa jedah, sambil masih juga diminta penerbitan pers lainnya
menulis topik-topik tertentu seperti Tempo, Pelita  dan lain-lain.
Sebagian tulisan-tulisannya, lebih dari 100 judul telah diterbitkan
menjadi buku ‘Mahbub Djunaidi Asal Usul’. Di situ dia justru
menjadi besar. Sebagai politikus, wartawan dan sastrawan, sosok
pemikirannya tampil. Sosok Mahbub Djunaidi, masih menurut Jakob,
mempunyai gaya keunikan tersendiri dalam tulisannya. Ia seakan
bersaksi dalam buku “Mahbub Djunaidi, Seniman Politik Dari
Kalangan NU Modern”. Menurutnya, kalau kebanyakan penulis
adalah menganalisa suatu masalah dan baru menjelaskan ide-nya,
maka Mahbub tidaklah demikian. Baginya, suatu peristiwa, kejadian,
atau sosok orang bisa dijadikan alat untuk menjelaskan ide-idenya.
Dunia politik pun tak lepas dari hari-hari Mahbub Djunaidi. Ketika
NU berafiliasi ke PPP, Mahbub Djunaidi menduduki jabatan sebagai
salah seorang wakil ketua DPP PPP dan kemudian di Majelis
Pertimbangan Partai (MPP). Bela Wartawan Tapi, sebelum itu,
Mahbub juga pernah menjadi anggota DPR-GR/MPRS. Nah, dalam
posisi inilah naluri kewartawanannya muncul. Ia mengetuai pansus
penyusunan RUU tentang ketentuan pokok pers. Dalam  tim pansus
tersebut ia dibantu oleh Sayuti Melik, RH Kusman, Soetanto
Martoprasonto, dan Said Budairi. Sebagai seorang politikus, ia tetap
memikirkan nasib pers di Indonesia. Hal ini diwujudkannya melalui
penyusunan perundang-undangan pers semasa almarhum  menjadi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR  GR) tahun
1965. Sebagai jurnalis, penulis dan sastrawan, Mahbub telah meraih
prestasi yang sangat baik. Tulisanya sebagai PemredDuta Masyarakat
telah menunjukkan benang merah dari gagasan dan pikirannya
mengenai berbagai masalah yang dihadapi bangsa kita. Perjalanan
panjang dalm organisasi di lingkungan NU dapat menjadi bukti dari
pengabdiannya kepada masyarakat. Kiprahnya sebagai  Ketua Umum
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dapat dari petunjuk dari
pengabdiannya dalam mengembangkan kehidupan pers nasional.
Tulisannya sebagai sastrawan telah menununjukkan keragaman
kemampuan yang dimilikinya dengan meraih penghargaan sastra
tingkat nasional. Kolom “Asal Usul” yang dimuat secara tetap di tiap
hari minggu harian Kompas selama jangka waktu yang  cukup lama
menunjukkan kemampuan Mahbub dalam menulis dan dayapikat
tulisannya terhadap masyarakat. Gaya tulisannya sekarang banyak
ditiru oleh penulis Indonesia. Terlepas dari plus-minusnya selama
berinteraksi dengan koleganya semasa hidup, Mahbub  Djunaidi
adalah manusia biasa. Manusia adalah makhluk yang punyak banyak
kesalahan dan kelemahan. Kita menilai mereka tidak  semata-mata
sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai manusia. Yangpasti Mahbub
Djunaidi adalah tokoh nasional yang bersahaja, seorang jenius yang
berkarakter mengamati perkembangan hidup melalui tulisan-tulisannya, penggerak organisasi dan seniman politik yang dimiliki
oleh NU dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sementara
Mahbub Djunaidi meninggal dunia pada tahun 1995 di usia 62 tahun,
usia yang masih cukup untuk beraktivitas dan berjuang.
b.  Unsur sosial budaya novel :
Cerita di dalam novel ini mengandung unsur budaya yang dintaranya
diceritakan keadaan setiap daerah yang di diami di  saat pengungsian,
dengan keadaan penduduknya yang miskin tetapi mempunyai sikap
nasionalisme yang tinggi dan kuat.
c.  Unsur pendidikan :
Banyak unsure pendidikan yang dapat para pembaca petik melalui
cerita novel ini, diantaranya :
  Nasionalisme yang tinggi , lebih mengutamakan pendidikan
yang berlandaskan Indonesia dengan segala kekurangannya dari
gpada memilih pendidikan belanda sesuai pilihan kakek nya
  Tetap tekun terhadap ajaran agama, meskipun hidup serba
kekurangan
  Memiliki rasa persaudaraan yang kuat.
8.  Nilai – nilai yng terkandung dalam novel :
  Nilai moral novel :
Setiap karya sastra, terutama karya tulis seperti hal nya novel
memiliki nilai-nilai moral atau pesan-pesan moral.
Begitu pula hal nya dengan cerita di dalam novel “  DARI HARI
KE HARI”pesan – pesan atau nilai moral yang terkandung adalah :
o  Mampu menerapkan sikap bekerja keras dengan penuh
kegigihan
o  Memiliki rasa nasionalisme yang tinggi
  Nilai estetika (nilai keindahan ) novel :
  Cerita dalam novel “DARI HARI KE HARI” ini banyak
mengandung kata-kata atau kalimat-kalimat yang
mengandung gay bahasa (majas) Personifikasi , yaitugaya
bahasa (majas) yang melukiskan sesuatu dengan melekatkan
sifat-sifat yang biasa di lakukan oleh manusia ataumahluk
hidup. Misalnya :
o  “kereta si Jerman tua Bangka itu memekikdan
waktunya mengambil kepastian.
o  Batu bara dan jerami menampardan hamper dari
semua jurusan
  Nilai sosial budaya novel :
Dalam novel ini mempunyai nilai sosial budaya yang  tinggi
seperti di haturkan tentang sejarah dan budaya masalalu di
saat setelah kemerdekaan.
  Nilai pendidikan :
Dalam novel tersebut mempunyai nilai pendidikan yaitu
mengutamakan pendidikan meskipun kita di hadapkan pada
suasana pemberontakan ataupun kekurangan pada keadaan

Bagikan

Jangan lewatkan

resensi novel dari hari ke hari
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.