Monday, February 25, 2013

Saya Masih Beruntung . . .

Saya Masih Beruntung . . .


Saya Masih Beruntung . . .
Karya : JANTRI MUKTI SIMALANGO

Mataku masih terasa lelah, air mata yang keluar tatkala ayah meneleponku semalam membuat wajahku tampak suram. Masih terngiang di telingaku nada suara ayah yang juga bersedih dan menangis karna ku, padahal aku belum ungkapkan yang sebenarnya terjadi,aku tak mau mendengar nada sedih serta penyesalan di keluarkan oleh ayahku sendiri. Sekarang aku hidup serasa mandiri,tanpa ayah maupun ibu kandungku,hanya bibi,nenek dan abang sepupu yang menemaniku dalam kehidupanku sehari-hari. Punya orang tua tiri itu memang sangat susah, rasa sayang itu berbeda,seandainya ketika ayah dan ibu tidak bercerai sebelumnya, hidupku tidak penuh kesedihan seperti ini. Sejak kecil aku sudah hidup berkecukupan,bahkan lebih,hidupku bahagia bersama kakak kandungku serta ayah dan ibuku,walaupun ayah dan ibuku sering bertengkar,tapi apalah artinya,aku masih kecil dan tidak paham tentang itu,ku hanya bisa berjalan,berlari,menangis layaknya anak perempuan usia 5 tahun saat itu. Seiring waktu bertambahnya usia, akhirnya orang tuaku bercerai kemudian aku serta kakak ku diasuh oleh ibu,sedangkan ayah tetap melanjutkan pekerjaan nya di brunei di laut lepas pengeboran minyak bumi. Selang beberapa tahun, ibuku menikah dengan seorang pria sebaya nya, kemudian kami pindah dan hidup bahagia sampai tiba saat-saat yang membuat aku tak percaya, kakak kandungku meninggal pada usianya yang sangat muda,yakni 20 tahun,penyebabnya aku tidak tahu,ibu merahasiakannya.
Ku melanjutkan kehidupanku bersama ayah tiriku,ibu dan adik tiriku yang umurnya tak jauh beda dengan umurku,hanya selisih 4 tahun. Aku sebelumnya tidak mengetahui bahwa dia adalah adik tiriku,ku baru tahu ketika melihat akte lahirnya, diriku merasa sedikit kecewa,tapi apalah artinya itu semua toh kami sudah menjadi keluarga. Sudah lama aku tak mendengar kabar ayah kandungku sendiri, terakhir kali kudengar kalau dia sudah menikah dan mempunyai anak ,aku sangat bahagia mendengarnya, ku hanya bisa komunikasi lewat telepon saja, soalnya ayah sibuk dan tidak tentu keberadaanya,kadang di luar negeri membuat ku semakin sulit menghubunginya.
Malapetaka serasa muncul dalam hidupku, ayah tiriku dan ibu bertengkar, tetapi aku lah tempat kekesalan mereka, aku selalu kena marah, apa yang kuperbuat selalu salah di mata mereka. Aku tetap tidak mengerti, mereka sepertinya memperlakukan aku kurang adil,tak seperti adik tiriku, semua terpenuhi.
Aku merasakan ada yang lain, ayahku semakin kasar terhadapku, intonasi bicara serta nada yang kurang mengenakan selalu keluar dari mulutnya dan terhantur bagiku,tak seperti bicara pada adikku, aku sungguh bingung,apa karena aku anak tirinya?tapi aku tetap berpikir positif bahwa dia adalah ayah ku. Selang beberapa waktu, mereka bertengkar lagi entah apa sebabnya aku pun tidak tahu, sehingga aku keluar rumah sementara untuk mencari ketenangan,tapi itu bukan merupakan pilihan yang baik,ketenangan ku temukan bersama teman-temanku, yang pergi kemana-mana asalkan senang bersama. Sepulang itu, aku di tunggu di depan pintu oleh ibuku, aku di tampar oleh ibuku sendiri, siapa yang tidak menangis bila di tampar oleh orang yang satu-satunya kita sayangi,bahkan ibu kita sendiri? Aku menangis , membuat rumah semakin penuh keributan, pertengkaran dan amarah serta rasa sakit dan tangisan, rumah seakan berbunyi bom meledak,penuh kebisingan.
Aku pun pergi dan tinggal di rumah bibi ku, ibuku semakin marah dan akhirnya mengusirku, ayahku pun mengusirku begitu juga dengan adik tiriku, mereka seakan akur kembali dan serentak serta sepakat mengusirku. Dengan alasan aku adalah anak perempuan yang suka keluyuran. Sakit sekali kurasakan, tatkala itu aku masih duduk di kelas 3 SMA, ku menutupi apa yang terjadi, sebab hidupku akan terus berlanjut dan tak perlu banyak orang yang tahu. Tapi itu semua memberi efek atas hidupku. Aku terkadang sedih sendiri dan merenung dan terkadang menangis sendiri.
Selama aku tinggal bersama bibi,nenek ku sesekali mengunjungiku serta abang sepupuku,sekedar menanyakan kedaan ku dan kebutuhan sekolahku. Nenek sangat marah atas peristiwa itu, terkadang ibu juga terdiam ketika di marahi oleh nenek, tapi apalah upaya ku, aku yang tak diterima lagi oleh mereka,tak mungkin menuntut  untuk diasuh,tapi syukurlah, nenek ku merasakan apa yang kurasakan  sampai sekarang. Saat kesedihan ku mulai memuncak, ku merindukan ayah kandungku, “apa kabar mu ayah?ayah capek ya dsana?gmana pekerjaan ayah?” ingin rasanya aku menanyakan nya seperti itu serta mengadukan semua perlakuan ibu,ayah tiri dan adik tiriku, tapi aku takut, aku tak mau membuat ini semua menjadi beban untuknya sehingga membuat dia tidak fokus pada pekerjaan nya. Suatu hari, ibu serta ayah tiri dan adik tiriku datang mengunjungiku, sedikit senang dalam hatiku ternyata mereka sudah baikan dan masih mengingat ku, tapi tak kusangka, kedatangan mereka hanya untuk menyita barang-barang yang ku bawa, motor dan laptop pembelian ibuku pun di bawa mereka, aku semakin menangis dikala itu, akhirnya aku menelepon ayahku yang tak tahu dmana keadaanya, kuadukan semua yang terjadi, sambil menangis ku ceritakan kesakitanku, ayah semakin menangis tat kala ku katakan“ kenapa kalian telantarin aku yah, seakan aku ini bukan anak siapa-siapa”, ku mendengar desak tangis ayah disana, dia meminta maaf atas apa yang terjadi, ayah meminta maaf karena membiarkanku menderita seperti ini,kami menangis berdua lewat telepon,ayah berjanji akan segera mengunjungiku, bahkan sebelum kelulusanku.
Ada semangat baru kurasakan semenjak malam itu. Entah karena alasan apa, abang sepupuku membawaku ke jalan X untuk sekedar makan gorengan dikala itu, “lihat itu itu, disana, di tumpukan sampah sebelah sana, lihat lah anak perempuan itu, apakah kamu pernah seperti itu?mengais sampah dan berharap ada rejeki di tumpukan itu,syukur ada rejeki,kalau tidak ada,ya kais lah terus” kata abangku sambil mengarahkan mukaku ke tempat anak itu. Aku menutup mulutku,bagaimana rasanya bila anak sekecil itu mengais sampah di tengah kerumunan orang ramai, seumur hidup aku belum pernah seperti itu, betapa lebih menyedihkan bila dibandingkan dengan hidupku, hidupku yang menderita tetapi lebih menderita lagi anak itu, dengan raut muka yang lelah, mencari-cari benda di bawah terik panas, ku semakin menyadari, betapa sakitnya hidup ini, tapi dalam penderitaan, ada hal yang patut ku syukuri, masih ada orang yang menyayangiku,memperhatikan ku dan tetap menolongku, nasibku lebih beruntung.
Baca selengkapnya