JAKARTA Totilawati Tjitrawasita
Ketika penjaga menyodorkan buku tamu, hatinya tersentil. Alangkah anehnya,
mengunjungi adik sendiri harus mendaftar, padahal seingatnya, dia bukan dokter.
Sambil memegang buku itu dipandangnya penjaga itu dengan hati-hati, kemudian
pelan dia bertanya, “Semua harus mengisi buku ini? Sekalipun saudara atau
ayahnya, umpamanya?”
Yang ditanya hanya mengangguk, menyodorkan bolpoin. “Silakan tulis: nama, alamat, dan keperluan,”
katanya.
Tiba-tiba timbul keinginannya untuk berolok-olok. Sambil menahan ketawa
ditulisnya di situ: nama: Soeharto (bukan Presiden). Keperluan: urusan
keluarga.
“Cukup?” katanya sambil menunjukkan apa yang ditulisnya kepada penjaga.
“Lelucon, lelucon”. Katanya berulang-ulang sambil menepuk-nepuk punggung
penjaga yang terlongok-longok heran.
“Dia tahu, siapa saya” ujarnya menjelaskan.
“Tanda tangannya belum, Tuan.
Dan alamatnya?”
Betul juga, ada gunanya juga menjelaskan identitasnya agar tuan rumah tahu dan
memberikan sambutan yang hangat atas kedatangannya. Maka ditulisnya di bawah
tanda tangannya, lengkap: Waluyo ANOTOBOTO. Nama keluarganya sengaja
dibikin kapital semua, diberi garis tebal di bawahnya. Sekali lagi dia
tersenyum, rasa bangga terukir di wajahnya.
“Begini?” tanyanya seperti meminta pertimbangan penjaga.
Terbayang adik misannya tergopoh-gopoh membuka pintu, lalu menyerbunya dengan
segala rasa rindu, sambil melempar macam-macam pertanyaan kepadanya,
“Bagaimana Embok, Bapak? Tinah, anaknya sudah berapa?” Kemudian dilihatnya diri
sendiri menepuki punggung adiknya dan dengan suara dan gaya orang tua dia
bilang, “Sehat. Semua sehat. Dan mereka kirim salam rindu kepadamu.”
Ketika pintu berderit ia tersentak dari lamunannya, dan di saat berdiri hendak
menyambut adik misannya, ternyata yang keluar bukan dia … tapi si penjaga.
“Bagaimana?” tanyanya tak sabar.
“Duduklah Tuan, duduk saja. Pak Jenderal sedang ada tamu. Tapi saya lihat Pak
Jenderal heran melihat nama Bapak di situ.”
Mendengar itu dia tersenyum, lalu duduk kembali di kursi. Ditepuk-tepuknya debu
yang melekat di celananya, lantas diambilnya slepi dari sakunya.
“Boleh merokok”” tanyanya minta izin.
“Silakan, silakan,” kata si penjaga dengan ramah. Sikap tamu itu memang
merapatkan rasa persaudaraan. Ditawarkannya rokok ke ujung hidung si penjaga,
“Mau? Silakan lho!” yang dijawab dengan gelengan kepala dan goyangan tangan
oleh si penjaga.
“Baiklah, tapi jangan panggil saya Tuan, ah. Saya bukan Tuan. Orang awam, sama
seperti Saudara. Nama saya Waluyo. Orang-orang memanggilku ‘Pak Pong’. Lihat
saja nanti, Pak Jenderalmu pasti memanggil aku dengan ‘Pak Pong’, ‘Pak
Pong’ terlalu banyak makan singkong, kalau rakus dikasih teletong. Ooh, sejak
kecil kami memang suka berolok-olok.” Dia tertawa lebar, terkenang masa
kecilnya, bercanda di atas punggung kerbau. Si penjaga sempat mencatat: gigi
tamunya ompong semua.
“Tuan, Eh Pak Pong, petani?” ujarnya ragu-ragu, takut kalau menyinggung
perasaan.
“Petani? Apa potongan saya
petani? Bukan! Tapi waktu remaja memang kami suka pencak silat. Rupanya
meninggalkan bekas juga, pada potongan tubuhku. Atau karena baju model cina
ini ya? Saya, guru SD di Desa
Nggesi. Sekolah ini telah menghasilkan orang-orang besar. Murid saya yang
pertama sekolah sudah Kapten, ada juga yang insinyur. Dan Pak Jenderalmu, murid
yang paling jempolan. Otaknya tajam sekali,” katanya sambil mengacungkan ibu
jari ke atas, memuji kepandaian adik misannya.
Bel yang mendadak menjerit tiga kali menghentikan dongengnya. Tampak olehnya
penjaga itu berdiri dengan tergesa-gesa sambil berkata, “Tunggu sebentar,
mungkin Bapak sudah diperlukan.”
Dia melongo,
“Diperlukan?” Diperlukan?” ujarnya di dalam hati, tidak mengerti. Disedotnya
rokoknya dalam-dalam, asapnya ditiupkan ke atas. Terbayang kembali di depan
matanya Paijo yang kurus kering, makan satu meja, tidur sepembaringan, adik
misannya sendiri. Pernah ada bisul di pantatnya, lantas ditumbukkan daun
kecubung untuk obat. Waktu tubuh yang kering itu disergap kudis, dia bersepeda
sepanjang limapuluh kilometer untuk beli obat ke kota buat adiknya itu. Pagi
dan sore menggerus belerang, merebus air dan merendam Paijo pada kemaron yang
besar. Tiga puluh lima tahun yang lalu, itu, ketika semua masih anak-anak.
“Pak Pong mau minum
apa?” Seperti tadi, si penjaga nyelonong duduk dan menegurnya,
membubarkan angan-angan masa silamnya. “Pak Jenderal bilang saya harus menemani
Bapak, sebab Pak Jenderal lagi sibuk. Sebentar lagi ada tamu istimewa, Pak
Menteri. Minumnya apa, Pak? Juice? Coca Cola?”
“Apa saja, boleh. Kopi kalau ada,” ujarnya merendah.
“Aih, Jakarta panas, kenapa kopi? Tapi apa Bapak Saudaranya Pak Jenderal?”
ujar penjaga sambil menyorongkan cangkir ke depan tamunya.
“Ya, kakak sepupu. Sejak kecil dia yatim piatu. Ibu bapaknya meninggal kena
wabah kolera. Dia dua saudara, adik perempuannya bernama Tinah. Lantas keduanya
diambil oleh orangtua kami, dibesarkan dalam kandang yang sama, di Nggesi. Kami
memang keluarga petani, tapi dia agak lain, otaknya luar biasa. Sejak kecil dia
sudah menunjukkan bakatnya, selalu saja dibuatnya hal-hal yang mengagumkan.
Karenanya kami semua bersepakat untuk mengirimnya ke kota, sekolah. Waktu itu
kami menjual sapi dan padi untuk ongkos-ongkosnya. Lantas saya waktu sudah jadi
guru, saya kirimkan seluruh gaji untuk biayanya, sebab di desa kami kan bisa
makan apa saja …. Ooh, apa itu Pak Menteri?” tiba-tiba dia menghentikan
ceritanya, menunjuk ke jalan.
Seperti disengat lebah, penjaga yang di dekatnya meloncat bangun, setengah
berlari menyambut tamu yang baru datang dan bergemetaran ketika membukakan
pintu mobilnya.
“Langsung saja, Pak,” kata si penjaga sambil mengantar Pak Menteri ke ruang
tamu di dalam.
Dia duduk saja di situ, tercenung-cenung. Dicatatnya kejadian itu dalam hati:
tamunya Paijo, Menteri; langsung bertemu tanpa menunggu. Lantas dihitung-hitung
sudah berapa tahun mereka tidak saling ketemu. Apa Paijo juga gemuk seperti
Menteri itu? Tiba-tiba semacam kerinduan naik mencekam naik ke dadanya: Dia
ingin melihat adiknya! Serasa hendak diterjangnya tembok yang ada di
hadapannya. Karena gelisah dia berdiri, berjalan ke arah pintu.
Ketika tangannya menyentuh grendel, pintu terdorong dari dalam. Dan seseorang
muncul di depannya: si penjaga! Dengan tertawa terkekeh-kekeh ditepuk-tepuknya
bahu Pak Pong yang tua.
“Kabar baik, Pak, kabar baik. Mereka berdua wajahnya cerah-cerah. Menteri itu
banyak duit, alamat saya kebagian rejeki. Oo, jadi Pak Pong ini kakak misan
Pak Jenderal, ya? Betul mirip memang, dan Pak Jenderal selalu bangga pada
keluarganya. Dalam pidato-pidatonya selalu disebut-sebutnya: anak desa,
penderitaan rakyat, dan perjuangan melawan Belanda,” kata penjaga itu mencoba
mengingat-ingat kembali apa yang pernah diucapkan oleh Jenderalnya, kepada
tamunya.
“Ya, betul. Rumah kami pernah dijadikan markas, waktu zaman gerilya. Masih lama
ya, Pak Menteri itu?” katanya tak sabar lagi.
“Tidak! asal Bapak Jenderal mau teken, biasanya urusan selesai. Minumnya
ditambah lagi ya, Pak?”
Dia menggeleng lesu, dalam hati diumpatnya Menteri dan tamu-tamu yang antri di
situ, merebut waktu adiknya.
Karena badan dan pikirannya terlalu capek, dia mengantuk di situ. Si penjaga
tidak mengganggunya, dibiarkan saja tamunya tersandar lemas di kursinya. Entah
berapa lama dia dalam keadaan semacam itu, dia sendiri tak menyadarinya;
tiba-tiba didengarnya kembali bel tiga kali. Si penjaga menggoncang-goncang
bahunya.
“Giliran untuk Pak Pong. Mari, saya antarkan ….” Ada keramahan yang tulus terlempar dari mulut si
penjaga. Bibirnya menyunggingkan senyum, ikut merasa bahagia. Waktu pintu
ternganga lebar, dia tercenung di depannya. Matanya bergerak ke sana ke mari
menatapi apa saja yang dilihatnya. Ruangan itu bagus sekali. Hawa dingin menyentuh
kulitnya. Ada kesegaran di dalamnya. Di tengah-tengah barang-barang yang serba
megah, duduk laki-laki jangkung, memakai kecamata hitam. Betulkah itu Paijo?
Ya, dia tidak salah: ada tahi lalat di pipinya. Maka dia pun menyerbu ke dalam,
lalu dihamburkan kerinduannya, “ … Jo …,” teriaknya nyaring. Ketika hendak
dirangkulnya laki-laki yang duduk di belakang meja, dia mendadak menghentikan
langkahnya, sebab laki-laki itu bukannya berdiri tetapi tetap saja duduk di
kursi. Laki-laki jangkung itu melepaskan kecamatanya pelan-pelan, lalu
mengulurkan tangannya.
“Hallo, Pak Pong, apa kabar?
Saya senang bertemu kakak di sini? Bagaimana Ibu, Bapak dan Dik Tinah?”,
ujarnya, datar tanpa emosi.
Laki-laki yang bernama Pak Pong itu hanya melompong.
“Kakak, Ibu, Dik Tinah?” dia sempat mencatat kata-kata baru. “Bukankah kata-kata
itu dulu berbunyi, “Kakang, simbok, dan gendukku Tinah?”
“Baik, baik, Dik, semuanya kirim salam rindu padamu,” katanya dengan latah,
“dik”nya terasa kaku di lidah. Dulu, orang yang ada di depannya itu
dipanggilnya dengan le saja, ketika masih sama-sama memandikan kerbau
di sungai, tiap sore.
“Kakak tetap saja: penggembira, awet muda, bajunya potongan Cina.” Mereka
tertawa berderai-derai. Tapi laki-laki yang bernama Pak Pong menangkap sesuatu
yang lain dari wajah adiknya: ketidakwajaran.
Maka hilanglah kegembiraannya. Kerinduan yang hendak dia tuangkan dalam banyak
cerita, berhenti sampai di tenggorokannya. Dia tenggelam dalam keasingan.
Terentang batas di depannya. Sekalipun tidak diketahuinya bagaimana wujudnya,
tapi dia dapat merasakannya. Pada setiap tarikan napas adiknya terbayang
ungkapan kegelisahan adik misannya itu, akan kehadirannya.
“Kakak nginap
di mana?” tanya laki-laki yang sejak kecil dia timang-timang itu, mengiris
hatinya.
“Gambir. Engkau
sibuk, Dik? Ada titipan dari Ibu, “ kata-katanya menggeletar, ada rasa
penasaran yang ditekannya sendiri di dalamnya. Didengarnya sendiri, betapa
lucunya kata ‘ibu’ terluncur dari mulutnya. Lebih dari setengah abad dunia ini
dihuninya, baru satu kali itu dalam hidupnya ia menyebut ibu buat
emboknya.
“Dari Ibu? Baiklah, nanti saja; sebentar lagi saya harus rapat di Bina Graha.
Kakak nginap di Gambir? Kalau begitu, biarlah penjaga mengantarkan
kakak ke sana. Nanti malam Kakak saya tunggu, makan malam di rumah bersama
keluarga.”
Laki-laki itu berdiri, mengantarkan kakaknya sampai di pintu, memanggil serta
memberikan aba-aba pada sopir dan si penjaga. Sesudah itu mobil merah punya Pak
Jenderal meluncur melintasi kota, cepat seperti kilat.
“Gambir sebelah mana, Pak?” ujar sopir di perjalanan.
“Stasiun!” jawabnya tenang.
“Stasiun? Kiri apa kanannya, Pak?” tanya si penjaga, ingin lebih jelas.
“Tidak, di stasiunnya itulah. Jam berapa kereta meninggalkan Jakarta? Saya
tidak punya famili di sini, kecuali dia. Kasihan adikku, repot sekali
kelihatannya. Tentu di rumahnya banyak tamu, sehingga saya tidak kebagian ruang
dan waktu. Kasihan adikku, seharusnya saya tidak mengganggunya,” ujarnya
tulus, tanpa prasangka, pelan seperti bicara kepada dirinya sendiri.
“Pak Pong …”, sapa penjaga itu dengan lirih. “Kalau Pak Pong mau, biarlah kita
bersempit-sempit di gubuk saya. Kereta meninggalkan Jakarta baru besok pagi,
jam lima. Ada yang jalan sore, tapi karcisnya sepuluh ribu.”
Laki-laki yang dipanggil Pak Pong mengulurkan kedua belah tangannya. Mereka
bersalaman dengan hangat, ditempelkan di dada, bersilaturahmi.
“Alhamdulillah. Kamu tidak keberatan, menerima aku satu malam saja?”
Penjaga itu
menggeleng lemah, tanpa berbicara. Hanya saja mata yang menatap sedih pada
orang yang duduk di dekatnya itu.
Malam itu, Pak Pong berjalan
kaki, keliling kota Jakarta, di temani si penjaga. Kejadian siang tadi sama
sekali tidak membekas pada wajahnya, mukanya tetap berseri-seri. Diterimanya
kenyataan itu sebagai hal wajar: adiknya orang besar, sibuk dan banyak acara,
mengurus negara. Setiap kali melihat mobil merah lewat di dekatnya, tanyanya,
“Bukankah itu mobil Paijo? Jangan-jangan dia menjemput aku? Kami memang sudah
berjanji, jam tujuh, makan malam.”
Si penjaga menepuk-nepuk bahunya, “Mobil merah ratusan, Pak, jumlahnya di sini.
Dan malam ini Pak Jenderal ada di istana, menyambut tamu dari luar negeri.”
“Istana? Rumahnya Presiden, maksudmu?” matanya terbeliak lebar, mengungkapkan
keheranan yang besar.
“Ya, rumah Presiden. Nah itu, lampu-lampu yang gemerlapan itu night club.
Tahu night club?” tiba-tiba saja si penjaga merasa berarti, lebih pandai
daripada tamunya, kakak sepupu Jenderalnya.
“Night club, Pak,
pusat kehidupan malam di kota ini. Tempat orang-orang kaya membuang duit
mereka. Lampunya lima watt, remang-remang; perempuan-perempuan cantik, minuman
keras, tari telanjang, dan musik yang gila-gilaan. Pendeknya, yahut!” ujar
penjaga sambil mengacungkan jempolnya.
“Lantas, apa yang mereka bikin, di situ?” suaranya tercekik membayangkan
ketakutan yang besar.
“Berdansa. Bercumbu. Biasa, Pak, Jakarta!” jawab si penjaga dengan ringan.
“Astaga … Gusti Pangeran, nyuwun pangapura…. Dan adikku apa sering ke
situ?” ujarnya lirih, mengandung sedu.
“Tidak ke situ, ke Paprika. Tapi sama saja. Malah karcisnya mahal di sana, enam ribu!”
“Enam ribu? Sama dengan dua bulan gajiku,” keluhnya pelahan.
Lampu-lampu yang
berkilauan terasa menusuk-nusuk matanya, sedangkan kebisingan kota
menyayat-nyayat hatinya. Samar-samar dia sadari bahwa dia telah kehilangan adiknya:
Paijo tercinta!
Pak Pong yang malang menatap kota dengan dendam di dalam hati. Jakarta,
kesibukannya, Bina Graha, gedung-gedung itu, Istana Merdeka, night club,
mobil merah telah memisahkan dia dari adiknya.
Ditatapnya bungkusan kecil titipan emboknya, lalu diberikannya kepada si
penjaga, “Untukmu. Kain yang dibatik oleh tangan orang tuaku. Di dalamnya
terukir cinta ibu kepada anaknya. Coretan tanah kelahiran yang dikirim untuk
mengikat tali persaudaraan!”
Dua tetes air mata membasahi pipi yang tua, menandai kejadian waktu itu.
Dikutip dari
Hoerip, Satyagraha. 1979. Cerita Pendek Indonesia 4. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Halaman 192–198.
Bagikan
JAKARTA
4/
5
Oleh
Unknown